Makalah
Kimia Lingkungan
Pencemaran Lingkungan Akibat Pestisida
Disusun Oleh :
Nama : Dian Suci
Atika
NIM : F02111005
Program
Studi Pendidikan Kimia
Jurusan
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Tanjungpura
Pontianak
2012
Pencemaran Lingkungan Akibat
Pestisida
A.
Pestisida dan Pencemaran Lingkungan
Kita semua tahu Indonesia adalah negara yang sangat kaya
akan sumber daya alamnya. Salah satu kekayaan tersebut, Indonesia memiliki
tanah yang sangat subur karena berada di kawasan yang umurnya masih muda,
sehingga di dalamnya banyak terdapat gunung-gunung berapi yang mampu
mengembalikan permukaan muda kembali yang kaya akan unsur hara. Tanah merupakan
tempat kehidupan mikroorganisme yang secara makro menguntungkan bagi mahkluk
hidup lainnya, termasuk manusia. Mikroorganisme yang menghuni tanah dapat
dikelompokkan menjadi bakteri, fungi, aktinomisetes, alga, dan protozoa. Jumlah
dan jenis mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.
Namun seiring berjalannya waktu, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut. Dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, semakin tinggi pula daya saing untuk mencapai tingkat kemudahan dalam setiap aktifitas hidupnya sehari-hari. Satu hal vital yang tidak luput dari proses pengaplikasian pengetahuan memberikan dampak besar terhadap kegiatan pertanian tanah air yang notabene merupakan sumber pencaharian terbesar sebagian masyarakat negara agraris ini. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan waktu yang seefisien mungkin dalam kegiatan pertanian maka diwujudkanlah hal tersebut dengan penggunaan pestisida selama aktifitas pertanian tersebut berlangsung.
Namun seiring berjalannya waktu, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut. Dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, semakin tinggi pula daya saing untuk mencapai tingkat kemudahan dalam setiap aktifitas hidupnya sehari-hari. Satu hal vital yang tidak luput dari proses pengaplikasian pengetahuan memberikan dampak besar terhadap kegiatan pertanian tanah air yang notabene merupakan sumber pencaharian terbesar sebagian masyarakat negara agraris ini. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan waktu yang seefisien mungkin dalam kegiatan pertanian maka diwujudkanlah hal tersebut dengan penggunaan pestisida selama aktifitas pertanian tersebut berlangsung.
Masalah yang banyak diprihatinkan
dalam pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah
pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang pertanian, kehutanan,
pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran pestisida terjadi karena
adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita.
Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia menurun.
Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah.
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran.
Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah.
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran.
Pencemaran
pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di
dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam
air terjadi pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi
tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap
mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh
ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.Di dalam air,
partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton.
Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton
akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang
di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton.
Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang
dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton
meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di
dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh
ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih
meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan
besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu
manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi
dari pestisida tersebut. Penggunaan pestisida sintetis pada pertanian merupakan
dilema. Di satu sisi sangat dibutuhkan dalam rangka penyediaan pangan, di sisi
lain tanpa disadari mengakibatkan berbagai dampak negatif, baik terhadap
manusia, hewan mikroba maupun lingkungan.
Pemakaian pestisida haruslah sesuai
dengan persyaratan dan peraturan perundangan yang berlaku. Penggunaannya
haruslah diperuntukkan membasmi organisme pengganggu tanaman secara selektif
dan seminimal mungkin merugikan organisme dan target.
Belum banyak disadari hingga saat ini bahwa pemanfaatan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan untuk menggenjot produksi menyebabkan kerusakan lingkungan dan hilangnya lapisan tanah yang mengandung nutrisi. Di samping itu, kualitas produksi yang dihasilkan pun akan menurun. Di Indonesia polusi tanah ini merupakan masalah yang harus dihadapi. Pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang besar menimbulkan pencemaran bagi tanah dan air tanah dengan kadar racun yang beraneka ragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dan dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal, untuk mengembalikan nutrisinya tanah memerlukan waktu ratusan tahun, sedangkan untuk merusaknya hanya perlu beberapa tahun saja. Hal ini terlihat dari menurunnya produktivitas karena hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi.
Belum banyak disadari hingga saat ini bahwa pemanfaatan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan untuk menggenjot produksi menyebabkan kerusakan lingkungan dan hilangnya lapisan tanah yang mengandung nutrisi. Di samping itu, kualitas produksi yang dihasilkan pun akan menurun. Di Indonesia polusi tanah ini merupakan masalah yang harus dihadapi. Pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang besar menimbulkan pencemaran bagi tanah dan air tanah dengan kadar racun yang beraneka ragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dan dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal, untuk mengembalikan nutrisinya tanah memerlukan waktu ratusan tahun, sedangkan untuk merusaknya hanya perlu beberapa tahun saja. Hal ini terlihat dari menurunnya produktivitas karena hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi.
Ada beberapa pengaruh negatif
lainnya pemakaian pestisida sintetis secara tidak sesuai. Pertama, pencemaran air dan tanah yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap manusia dan makhluk lainnya dalam bentuk makanan dan
minuman yang tercemar. Kedua,
matinya musuh alami dari hama maupun patogen dan akan menimbulkan resurgensi,
yaitu serangan hama yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Ketiga, kemungkinan terjadinya serangan hama sekunder. Contohnya:
penyemprotan insektisida sintetis secara rutin untuk mengendalikan ulat grayak
(hama primer) dapat membunuh serangga lain seperti walang sembah yang merupakan
predator kutu daun (hama sekunder). Akibatnya setelah ulat grayak dapat
dikendalikan, kemungkinan besar tanaman akan diserang oleh kutu daun. Keempat, kematian serangga berguna dan
menguntungkan seperti lebah yang sangat serbaguna untuk penyerbukan. Kelima, timbulnya kekebalan/resistensi
hama maupun patogen terhadap pestisida sintetis. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, setiap rencana penggunaan pestisida sintetis hendaknya
dipertimbangkan secara seksama tentang cara penggunaan yang paling aman, di
satu sisi efektif terhadap sasaran, di sisi yang lain aman bagi pemakai maupun
lingkungan.
Sebenarnya tidak semua jenis
insekta, cacing (nematode) dan lain-lain merupakan hama dan penyakit bagi
tanaman, akan tetapi racun serangga telah membunuhnya. Tetapi makhluk-makhluk
kecil ini sangat diperlukan untuk kesuburan tanah selanjutnya. Apabila
penyemprotan dilakukan secara berlebihan atau takaran yang dipakai terlalu
banyak, maka yang akan terjadi adalah kerugian. Tanah disekitar tanaman akan
terkena pencemaran pestisida. Akibatnya makhluk-makhluk kecil itu banyak yang ikut
terbasmi, sehingga kesuburan tanah menjadi rusak karenanya. Bukan tidak mungkin
tragedi kegersangan dan kekeringan terjadi. Dan akibat yang paling parah,
kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pestisida dari tahun ke tahun
menurun.Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas.
Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin
banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pestisida kimia
merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk
memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang
dimulai sejak tahun 1970-an. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang
terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi,
pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya.
Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade
1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah
merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida
tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah.Revolusi hijau memang
pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:
1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah
1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah
2. Kesuburan tanah merosot/tandus
3. Tanah mengandung residu (endapan)
pestisida
4. Hasil pertanian mengandung residu
pestisida
5. Keseimbangan ekosistem rusak; dan
6.Terjadi peledakan serangan dan
jumlah hama.
Apabila pestisida dipakai dalam
batas-batas kewajaran sesuai dengan petunjuk penggunaan kiranya merupakan
tindakan yang bisa memperkecil lingkup risiko yang harus ditanggung manusia dan
alam. Pemakaian pestisida secara membabi buta bisa mengundang bencana.
Oleh karena itu masalah pestisida menuntut perhatian semua pihak, tidak hanya para pejabat, tidak hanya sipemakai jasa. Kita semua memikul tanggung jawab bersama atas lingkungan hidup kita sendiri. Pestisida bukan hanya menjadi tangung jawab pabrik panghasil, dan tanggung jawab pemrintah yang memberi izin produksi, tapi menjadi tanggung jawab semua pihak, semua bangsa dan semua negara. Jikalau di suatu negara suatu jenis pestisida sudah diteliti, dinyatakan berbahaya dan dilarang untuk dipergunakan, semestinya semua Negara dunia juga harus mengerti akan hal itu dan ikut melaksanakannya. Bersikap mendua dalam mengambil langkah kiranya kurang membantu. pemakaian pestisida dilarang tetapi tetap diproduksi dan bahkan diekspor kenegara tetangga.
Oleh karena itu masalah pestisida menuntut perhatian semua pihak, tidak hanya para pejabat, tidak hanya sipemakai jasa. Kita semua memikul tanggung jawab bersama atas lingkungan hidup kita sendiri. Pestisida bukan hanya menjadi tangung jawab pabrik panghasil, dan tanggung jawab pemrintah yang memberi izin produksi, tapi menjadi tanggung jawab semua pihak, semua bangsa dan semua negara. Jikalau di suatu negara suatu jenis pestisida sudah diteliti, dinyatakan berbahaya dan dilarang untuk dipergunakan, semestinya semua Negara dunia juga harus mengerti akan hal itu dan ikut melaksanakannya. Bersikap mendua dalam mengambil langkah kiranya kurang membantu. pemakaian pestisida dilarang tetapi tetap diproduksi dan bahkan diekspor kenegara tetangga.
Setiap usaha pembrantasan harus
melibatkan semua pihak dan bersifat menyeluruh, kalau diharapkan berhasil.
Mudah-mudahan di masa mendatang kasus-kasus akibat pemakaian atau produksi
pestisida mulai mengecil atau bahkan hilang sama sekali. Meskipun sulit, kita
semua berjuang agar risiko bagi lingkungan itu makin diperkecil.
B.
Penanganan
yang Dapat Dilakukan
Pencemaran tanah juga dapat
memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal
dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang
rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari
mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut.
Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan,
yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari
rantai makanan tersebut. Bahkan jika efek kimia pada bentuk kehidupan terbawah
tersebut rendah, bagian bawah piramida makanan dapat menelan bahan kimia asing
yang lama-kelamaan akan terkonsentrasi pada makhluk-makhluk penghuni piramida
atas. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini, seperti konsentrasi DDT
pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat Kematian
anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut.
Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman di mana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan pencemar tanah utama.
Olehnya itu ada beberapa langkah penanganan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah. Diantaranya:
Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman di mana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan pencemar tanah utama.
Olehnya itu ada beberapa langkah penanganan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah. Diantaranya:
• Remidiasi
Remediasi adalah kegiatan untuk
membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah,
yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site
adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah,
terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi
penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah
itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya
yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih
dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar
dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan
off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
• Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur,
bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar
menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Remediasi : Kegiatan untuk membersihkan lingkungan.
Remediasi : Kegiatan untuk membersihkan lingkungan.
Hal yang perlu diketahui dlm
melakukan remediasi:
1. Jenis pencemar (organik atau
anorganik),
2. terdegradasi/tidak, berbahaya/tidak,
3. Berapa banyak zat pencemar yang
telah mencemari lingkungan tersebut,
4. Perbandingan karbon (C), nitrogen
(N), dan Fosfat (P),
5. Jenis tanah,
6. Kondisi tanah (basah, kering),
7. Telah berapa lama zat pencemar
terendapkan di lokasi tersebut,
8. Kondisi pencemaran (sangat
penting untuk dibersihkan segera/bisa ditunda).
Bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur,
bakteri). Atau Bioremediasi adalah penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi
polutan di lingkungan.
Bioremediasi adalah proses
penguraian limbah organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi
terkendali dengan tujuan mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan
pencemar dari lingkungan.
Yang termasuk dalam polutan-polutan
antara lain :
- logam-logam berat,
- petroleum hidrokarbon, dan
- senyawa-senyawa organik
terhalogenasi seperti pestisida, herbisida dll.
Tujuan Bioremediasi : untuk memecah
atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak
beracun (karbon dioksida dan air).
Kelebihan teknologi ini adalah:
1. Relatif lebih ramah lingkungan,
2. Biaya penanganan yang relatif
lebih murah
3. Bersifat fleksibel.
Saat bioremediasi terjadi, enzim”
yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan
mengubah struktur kimia polutan tersebut, disebut biotransformasi.
Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Pendekatan umum untuk meningkatkan
kecepatan biotransformasi/ biodegradasi adalah dengan cara:
(i)
seeding,
mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasiinstrinsik)
dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi)
(ii)
feeding, memodifikasi lingkungan dengan
penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing).
Bioremediasi terbagi menjadi 2 yaitu
:
1.
In
situ : dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar 2. Ex situ : tanah
tercemar digali dan dipindahkan ke dalam penampungan yang lebih terkontrol.
Lalu diberi perlakuan khusus dengan memakai mikroba.
2.
Bioremediasi
ex-situ bisa lebih cepat dan mudah dikontrol. Dibanding in-situ, ia pun mampu
me-remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih beragam.
Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi:
Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi:
1. Stimulasi aktivitas
mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien, pengaturan
kondisi redoks, optimasi pH, dsb
2. Inokulasi (penanaman)
mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan
biotransformasi khusus
3. Penerapan immobilized enzymes
Penggunaan tanaman
(phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar.
Kunci sukses bioremediasi adalah :
1. Dilakukan karakterisasi lahan
(site characterization) :
- sifat dan struktur geologis
lapisan tanah,
-lokasi sumber pencemar
-perkiraan banyaknya hidrokarbon yang terlepas
dalam tanah.
- sifat-sifat lingkungan tanah :
derajat keasaman (pH), temperatur tanah, kelembaban hingga
kandungan kimia yang sudah ada, kandungan nutrisi, ketersediaan oksigen.
-mengetahui keberadaan dan jenis mikroba yang ada dalam tanah.
-mengetahui keberadaan dan jenis mikroba yang ada dalam tanah.
2. Treatability study.
o Sesudah data terkumpul, kita bisa melakukan modeling untuk
menduga pola distribusi dan tingkat pencemarannya. Salah satu teknik modeling
yang kini banyak dipakai adalah bioplume modeling dari US-EPA. Di sini,
diperhitungkan pula faktor perubahan karakteristik pencemar akibat reaksi
biologis, fisika dan kimia yang dialami di dalam tanah.
o Rekayasa genetika terkadang juga perlu jika mikroba alamiah tak memuaskan hasilnya.
o Treatability study juga akan menyimpulkan apakah reaksi dapat berlangsung secara aerobik atau anaerobik.
o Rekayasa genetika terkadang juga perlu jika mikroba alamiah tak memuaskan hasilnya.
o Treatability study juga akan menyimpulkan apakah reaksi dapat berlangsung secara aerobik atau anaerobik.
Teknologi
genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen” yang mengkode
enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang
bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba”
memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.Strain atau jenis mikroba
rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi
polutan.Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan
adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi
senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut
tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau
bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi,
penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini
hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain
inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat
yang cenderung bertahan di lingkungan.
Jenis-jenis
bioremediasi adalah sebagai berikut:
1.
Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau
tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri
remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
2.
Bioaugmentasi
Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan
ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan
dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat
Hambatan yang ditemui ketika cara
ini digunakan: Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar
mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya
mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme
yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.
3.
Bioremediasi
Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi
secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Daftar Referensi
Ekha Isuasta,1988, Dilema Pestisida. Yogyakarta : Kanisius
.
Kusno S. 1992. Pencegahan Pencemaran Pupuk
dan pestisida. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Quijanu,
Romeo dan Saojeni Rengan. 1999. Awas! Pestisida Berbahaya
bagi Kesehatan,(online), (www.panap.net,
diakses tanggal 5 juni 2012).
Soekarto. S. T. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri
Pangan dan Hasil Pertanian.
Jakarta : Bhatara Karya Aksara.
Untung,
K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.